Kehidupan Dibalik Rekaman

Cerpen Karya Ilmiah
Oleh : Ahmad Romdlan Mubarok

Rekaman 1

Tok tok tok….

“Masuk!” perintah seorang pria paruh baya bersetelan jas, yang berpura-pura menyibukkan diri dengan tumpukan kertas di mejanya.

“Selamat siang, Bapak.” sapa pria yang mengetuk pintu.

“Ada apa?” Orang yang bersetelan jas itu masih tetap tak mau jeda dengan kepura-puraannya dari tumpukan kertas.

“Begini, Bapak. Proyek pengaspalan jalan kota P dengan anggaran dua triliyun rupiah sudah kami ajukan kepada Bapak Gubernur. Dan beliau sudah meng-ACC proposal, hanya tinggal menerima anggaran dana dari Bapak Gubernur untuk menjalankan proyek.” Tiba-tiba pria paruh baya yang tadinya acuh dengan kedatangan bawahannya, langsung menunjukkan wajah sumringahnya. Menunjukkan kepeduliannya pada berita yang dibawa.

Dengan berlagak bak orang yang berwibawa, pria paruh baya itu membenarkan letak duduknya, barulah meninggalkan tumpukan kertas yang menjadi sasaran kepura-puraan sibuknya sejak tadi .

Ekhem… jadi sudah kamu tindak lanjuti?” tanya pria paruh baya dengan mimik muka yang dibuat seserius mungkin.
“Belum, Pak. Kami menunggu konfirmasi dari bapak untuk tindak lanjutnya.”
“Baik kalau begitu, segera urusi dana yang masuk. Dan saya minta dana yang masuk pada rekening dinas segera alihkan ke rekening saya!”

“Lho, kok bisa gitu, Pak?”

“Lah, saya ini kan atasan kamu, saya yang mengatur semuanya!” Suara pria paruh baya itu mulai meninggi karena merasa titahnya dibantah.

“Perintah bapak tidak sesuai dengan prosedur, Pak.”

“Ternyata kamu terlalu polos. Perlu dicuci dengan dikte kapitalis.” Bantahan bawahannya hanya ditanggapi dengan kalimat sarkastis dan senyum sinis.
“Sekarang saya tanya, apa kamu tidak mau saya kasih uang seratus juta? Hah?” Pria paruh baya itu mulai terapi mencuci otak bawahannya.
“Ma… Mau, Pak.” jawab pria yang secara tak sadar sudah masuk perangkap iblis bersetelan jas, setelah terdiam dan menimbang tawaran atasannya.
“Hahaha… Iya, begitu. Makanya kamu ikuti semua perintah saya. Jangan lagi ada bantahan. Apalagi ada orang tahu kalau kita sedang ber’bisnis’, paham?”
“I… Iya, Pak. Saya akan laksanakan segala titah bapak.”
“Sekarang tugas kamu hanya memanipulasi laporan pertanggung jawaban proyek serapi mungkin, jangan sampai ada jejak mencurigakan kalau kita akan bagi kue. Dan ya, satu lagi. Hanya kita yang tahu ‘bisnis’ ini!”
Pria yang menjadi korban cuci otak itu hanya mengangguk-angguk takdzim atas semua yang diperintahkannya. Membayangkan dirinya sebentar lagi menjadi orang yang kaya mendadak. Tak repot lagi untuk sekadar membeli susu anaknya. Dan lebih mensejahterakan keluarganya. Pria yang menjadi korban itu sudah mulai senang hidup dalam bayang-bayang materi.
Lalu, Pria bawahannya tadi menarik diri selepas titah-titah atasannya jelas. Hendak melaksanakan perintah yang katanya, membahagiakan.

###

Rekaman 2

Di pesisir pantai, dari kejauhan terlihat siluet sepasang kekasih, duduk berdampingan berpegangan tangan. Sesekali mendekap, membiarkan wanitanya menyenderkan kepalanya pada bahu si lelaki. Mungkin saja merencanakan masa depan yang belum tentu terlaksana. Meredakan pertengkaran-pertengkaran yang sering terjadi. Mungkin saja begitu.

“Mas, kapan kau akan menikahiku?” tanya si wanita itu sembari mendongakkan kepalanya, mengarahkan tatapan dengan lekat pada mata lelakinya, yang menatap riak laut di kejauhan.
Lelaki itu menghela nafas berat, sebelum menjawab dengan singkat “Secepatnya.”
Mendengar kata secepatnya, wanita itu langsung menenangkan dirinya, bahwa dia bukan wanita kebanyakan yang menemukan lelaki tak bertanggung jawab. Tanpa dia sadar, ada kata lain dibalik kata hati lelaki di sebelahnya.
Beda lagi dengan lelaki di sebelahnya yang berpikir keras untuk menghilangkan diri dari masalah yang dibuatnya sendiri. Saat wanita itu malah berangan dan ingin untuk sesegera mungkin menenggelamkan dirinya pada ikatan yang manusia sebut pernikahan. Dan senja saat itu menyaksikan dua otak manusia yang berdampingan namun bertolak belakang pikiran.

Wanita yang berbaju longgar itu mengelus perutnya yang sedikit buncit, menandakan ada kehidupan dalam perutnya. Kehidupan yang masih terbilang tak terlalu lama. Mungkin baru terisi sekitar satu dua bulan yang lalu. Pantas saja tak terlihat seperti mengemban beban bayi dalam perutnya.

###

Rekaman 3

Terlihat jamaah menyesaki masjid sebelah timur jalan raya, berbondong-bondong hendak mengaji pada seorang Ustadz yang katanya tersohor kepintarannya. Ada yang datang sendiri, ada yang bersama istrinya, ada pula keluarga besarnya yang turut serta diajaknya, demi sebuah ceramah dari Ustadz yang katanya tersohor itu. Mereka mengenakan busana yang dianggap sopan. Bersama-sama mendengarkan dengan seksama kajian pada waktu sore itu. Bahkan ada pula yang sejak berangkat dari rumahnya sudah berniat untuk bertanya perihal masalah yang dihadapinya.
Semenjak ceramah dimulai, tak ada satu pun orang yang tidak konsentrasi. Semua menyimak, bahkan hanya ceramah Ustadz itu saja yang terdengar, sesekali terdengar bunyi sond system berdenging, mungkin karena efek tak ada suara yang lain.

Ustadz itu dengan semangatnya yang bergebu-gebu menyampaikan ceramah-ceramah yang menurut dia penting dijadikan pedoman hidup. Seakan segala isi ceramahnya adalah kebenaran mutlak. Hingga akhirnya sampai pada sesi pertanyaan.
“Pak Ustadz, bagaimana hukumnya jika ada orang yang berteman akrab dengan orang non-muslim?”
“Kafir!” Segeralah Ustadz itu membacakan dalil-dalil yang diketahuinya dari kajian google, menyampaikannya dengan berkoar-koar, meyakinkan jamaahnya bahwa yang dia katakana adalah benar adanya. Jamaah yang hadir pun hanya mengangguk-angguk membenarkan.
“Saya punya teman, Pak Ustadz. Dia sering sekali mengajak saya berziarah ke kuburan ibunya, bagaimana hukumnya itu, Pak Ustadz?”
“Hukumnya Kaafirrr!” Kembali Ustadz itu menunjukkan kepiawannya dalam menyampaikan ceramahnya. Menyebutkan dalil, memberikan logika, hanya agar semua orang yakin bahwa sesuatu yang pernah dilakukan mereka adalah kesalahan fatal. Ustadz itulah yang paling benar.

Selepas acara ceramah itu usai, terdengarlah kasak-kusuk dari orang-orang yang menjadi jamaahnya. Menilai segala ceramah yang disampaikan. Berbincang dengan sanak family atau hanya dengan teman di sampingnya.
“Wah, penceramahnya pintar sekali ya.”
“Aku kagum banget sama penceramahnya. Ceramahnya itu lho.”
“Ma, Pa, di hari pernikahanku nanti, aku mau mengundang Ustadz itu, boleh ya?”
“Tegas, energik, dan juga mumpuni secara keilmuan. Sungguh hebat.”
“Kira-kira, Ustadz itu mau tidak ya memperistri aku?”
“Saya merasa janggal dengan ceramah Ustadz tadi.”

Semua orang yang mendengar kalimat pernyataan itu memandang tak suka jika Ustadz yang disanjung-sanjungnya dikritik. Otak mereka sudah dipenuhi ceramah-ceramah Ustadz yang katanya menyejukkan hati itu. Serasa menuntun mereka pada jalan yang lebih benar.
Sedangkan di tempat istimewa yang sudah disediakan takmir masjid untuk Ustadz tersohor itu, ada rekaman lain yang tak terlihat orang-orang yang menyanjungnya. Tapi, rekaman itu tetap terabadikan, sekalipun tak ada orang banyak yang tahu.

“Mohon maaf, Ustadz. Ini honor yang tidak seberapa. Mohon diterima.”
“Ah, sudah sepatutnya ana menyampaikan risalah kebenaran. Ngomong-ngomong ente naruh berapa?” Ustadz itu membisikkan kalimat terakhirnya pada si Takmir.
“Hanya lima belas juta, Ustadz.”
“Hmm… Mohon maaf sebelumnya ya. Biasanya ane kalau diundang, tidak nerima fulus yang dibawah dua puluh juta.” Seakan takut membuat malu Takmir pada orang lain, Ustadz itu kembali membisikinya dengan suara yang begitu pelan.
“Maaf, Ustadz, sekali lagi saya tidak tahu untuk itu. Saya mohon pamit dulu, Ustadz mau mengambil uang kekurangannya.”
“Memangnya ente mau tambahin berapa?”
“Tiga puluh juta cukup Ustadz?”
“Ya sudah ente temani ane saja di sini dulu. Nanti saya kasih nomor rekening ane. Biar ente santai. Hehe.”

###

Nyatanya tidak hanya dalam gedung-gedung DPR, bank, atau bahkan istana presiden pun yang diletakkan perekam. Namun dalam kehidupan pun ada pula perekam tersembunyi, dan tak ada seorang pun yang menyadarinya. Perekam itu ada di mana-mana. Merekam segala gerak manusia, merekam manusia yang disesaki dosa ataupun pahala.


Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *