Hari Guru Nasional 2025, Mendoakan Guru Merupakan Wujud Adab Murid dalam Tradisi Islam

Artikel
Oleh : Ainur Rijal
Mengapa Adab kepada Guru Menjadi Kunci Keberkahan Ilmu dalam Islam?

Setiap tanggal 25 November, masyarakat Indonesia memperingati Hari Guru Nasional sebagai bentuk penghargaan terhadap peran pendidik. Namun, dari sudut pandang tradisi keilmuan Islam, penghormatan kepada guru bukan sekadar budaya atau seremoni, melainkan prinsip fundamental yang menentukan keberkahan ilmu. Karena itu, momentum ini penting untuk mengkaji kembali: mengapa adab kepada guru menjadi syarat utama keberhasilan seorang penuntut ilmu?

Dalam literatur keilmuan klasik, guru disebut sebagai al-mu‘allim—orang yang tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga membimbing akhlak, membentuk kepribadian, dan menuntun spiritualitas. Karena peran inilah, ulama menempatkan penghormatan kepada guru sejajar dengan penghormatan kepada orang tua.

Salah satu ayat yang sering dijadikan dasar kemuliaan guru dan penuntut ilmu adalah firman Allah dalam Surah al-Mujādilah ayat 11:

“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujādilah: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang berilmu memiliki kedudukan khusus di sisi Allah. Para ulama menafsirkan bahwa kemuliaan ini tidak hanya diberikan kepada pemilik ilmu, tetapi juga kepada pihak yang menjadi sebab sampainya ilmu, yaitu guru.

Landasan lain datang dari hadis Nabi Muhammad ﷺ yang bersabda:

“Sesungguhnya Allah, para malaikat, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di dalam lubangnya dan ikan di laut, bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”(HR. Tirmidzi)

Hadis ini memberikan argumentasi kuat bahwa mengajar adalah amal yang mendapatkan doa dan keberkahan dari seluruh makhluk. Maka, murid yang mendoakan guru sejatinya mengikuti tradisi makhluk Allah dalam memuliakan orang yang mengajarkan kebaikan.

Guru sebagai Pembentuk Ruhani

Dalam Islam, kedudukan guru ditempatkan pada posisi yang sangat mulia. Para ulama menegaskan bahwa hubungan murid dan guru tidak hanya sebatas transfer pengetahuan, tetapi pembinaan ruhani dan akhlak.

Berbagai literatur keislaman, guru menempati posisi terhormat sebagai pewaris tugas para nabi dalam menyampaikan ilmu. Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa kedudukan guru sejajar dengan orang tua dalam hal pendidikan ruhani dan pembentukan karakter. Karena itu, mendoakan guru dipandang sebagai bagian dari adab seorang murid.
Syair dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim menyebutkan:

فَذَاكَ مُرَبِّ الرُّوْحِ، وَالرُّوْحُ جَوْهَرُ ** وَهذَا مُرَبِّ الْجِسْمِ، وَالْجِسْمُ كَالصَّدَف

Artinya: “Guruku adalah pengasuh jiwaku dan jiwa adalah bagaikan mutiara, sedangkan orang tuaku adalah pengasuh badanku dan badan bagaikan kerangnya.”

Argumentasi utama dari syair ini adalah bahwa pendidikan ruhani dinilai lebih menentukan arah hidup seorang murid dibanding pendidikan jasmani. Jika jasmani tanpa ruhani dapat menjadikan seseorang kehilangan arah moral, maka ruhani tanpa jasmani tetap dapat menggerakkan manusia menuju kebaikan.

Dengan demikian, penghormatan kepada guru bukan sekadar etika sosial, tetapi bagian dari struktur pendidikan Islam yang memprioritaskan pembentukan karakter.

Teladan Ulama sebagai Legitimasi Keilmuan

Dalam tradisi Islam, praktik para ulama (amal salaf) menjadi salah satu legitimasi penting dalam menentukan nilai sebuah adab. Kisah Imam Ahmad bin Hanbal tentang Imam Syafi’i menjadi bukti kuat:

“Imam Syafi’i itu seperti matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia. Apakah kedua hal itu memiliki penggantinya?”

Ungkapan ini bukan pujian berlebihan, tetapi argumentasi bahwa ilmu yang membawa manfaat bagi umat hanya dapat berkembang melalui penghormatan kepada sumber ilmu, yaitu guru.

Jika ulama besar seperti Imam Ahmad—yang menjadi rujukan fiqih—menganggap guru memiliki kedudukan yang tidak tergantikan, maka murid di masa sekarang semakin wajib memuliakan guru agar rantai transmisi ilmu tetap terjaga.

Keberkahan Ilmu Bergantung pada Adab

Salah satu argumen terkuat dalam tradisi pendidikan pesantren adalah bahwa ilmu tidak akan bermanfaat tanpa adab. Banyak ulama menegaskan konsep ini, bahkan sebagian mengatakan:

“Kami belajar adab selama bertahun-tahun sebelum belajar ilmu.”

Ketika murid meremehkan guru, meragukan niatnya, atau tidak menjaga adab, para ulama meyakini bahwa keberkahan ilmu akan terhalang. Karena itu, doa untuk guru menjadi bagian penting dari proses menuntut ilmu.

Syekh Abdul Fattah Abu Guddah menuliskan doa:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Artinya: “Wahai Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajar kami. Sayangilah mereka, muliakanlah mereka dengan keridhaan-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.” (Imam al-Haris al-Muhasibi, Risâlah al-Mustarsyidin, Dar el-Salam, hal. 141)

Selain itu, terdapat doa agar Allah menjaga keberkahan ilmu:

“Ya Allah, tutupilah aib guruku dariku, dan jangan Engkau hilangkan berkah ilmunya dariku.”

Doa ini menunjukkan bahwa hubungan murid dan guru tidak berakhir ketika proses belajar selesai; keberkahan ilmu tetap bergantung pada sikap murid sepanjang hidupnya.

Kesimpulan Argumentatif

Berdasarkan tradisi keilmuan Islam, terdapat tiga alasan utama mengapa adab kepada guru wajib dijaga:

  1. Guru berperan sebagai pembentuk ruhani, bukan hanya penyampai materi.
  2. Penghormatan kepada guru merupakan legitimasi ulama, yang terbukti menjaga keberlangsungan ilmu sepanjang sejarah Islam.
  3. Keberkahan ilmu sangat bergantung pada adab murid, bukan hanya kecerdasan atau pencapaian akademik.

Karena itu, memuliakan guru bukan sekadar tradisi atau budaya pesantren, tetapi tuntunan ilmiah dan spiritual dalam pendidikan Islam.

Semoga Hari Guru Nasional 2025 menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran bahwa keberhasilan seorang murid tidak hanya ditentukan oleh kemampuan belajar, tetapi juga oleh adab kepada guru serta doa yang dipanjatkan dengan penuh ketulusan. Âmîn.*

Bagikan