Menakar Hikmah Puasa di Bulan Syawal

Artikel Karya Ilmiah
Oleh: Fawaid Sulaiman

Pada akhirnya, bulan puasa-pun berlalu, menyisakan banyak makna dalam jiwa, tergantung pada manusianya, bagaimana ia memahami ibadah puasa. Apabila dibulan syawal kita kembali pada pribadi “apa adanya” serupa dengan pribadi sebelum puasa, patut dipertanyakan apakah benar cara pandang kita terhadap puasa.

Puasa sudah pasti mengantarkan kita pada satu titik simpulan. Substansi puasa berpusat pada satu kata “Menahan”, maka di ujung hari dari bulan puasa ini mestilah terwujud pribadi baru dalam diri kita. Pribadi baru ini merupakan hasil dari “pekerjaan” menahan kita selama menjalani puasa.

Dalam ilmu Morfologi, kata “menahan” merupakan kata jadian yang menunjukkan pekerjaan, maka berhasil atau tidaknya pekerjaan tersebut harus dilihat dari output pekerjaan itu sendiri. Dalam konteks ini, Manusia adalah pekerja, Puasa adalah pekerjaan, dan Pribadi yang terbarukan adalah hasil pekerjaannya.

Bila tidak ada pembaharuan kepribadian paska puasa, maka manusia telah menyiakan waktu dan kesempatan, tentu bisa dibilang tidak benar-benar menjalani puasa secara subtansial. Bisa saja manusia hanya terjebak pada ritus formal yang selama bertahun-tahun dilaluinya. Padahal dalam segenap referensi naqli, Tuhan tiada hentinya menjelaskan segala macam keutamaan puasa, segala macam perlakuan khusus pada bulan rahmah ini diharapkan menjadi pencerah bagi kegelapan kepribadian, menjadi pembuka tabir bagi keberimanan manusia. Menyadarkan akal fikiran manusia akan pentingnya memahami jati diri, dan alasan penciptaan serta tujuan risalah kemanusiaan.

Mafhum diketahui bahwa, manusia merupakan makhluk yang diciptakan dengana potensi paling kompleks. Potensi merusak merupakan potensi dominan yang bersemayam dalam diri manusia. Potensi ini sebagai perwujudan sisi nafs manusia, selain akal dan nurani, nafs ini juga memiliki peranan penting dalam kedirian kita. “Will” manusia teraktualisasi dari nafs ini. Pada situasi tertentu, Will manusia ini akan dihadapkan pada 2 pilihan, yakni baik dan buruk. Disinilah akal dan nurani menjadi krusial bagi kita. Bila akal memahami dengan baik, sesuai dengan tuntunan nurani, yakni cenderung pada yang hanif maka nafs dengan sendirinya akan tertuntun untuk memiliki Good Will. Yakni menjadi manusia kamil, manusia yang sempurna. Iman yang terpancar dari pribadi baik manusia, menuntun serta menuntut manusia berprilaku ihsan, sebagai bentuk konsekuensi dari pernyataan keberislaman manusia, berserah kepada sang maha sebab yang tidak bersebab. Keberserahan ini menuntut totalitas, dan totalitas didapatkan dari Pembiasaan manusia untuk cenderung pada kebaikan, pada kebenaran, pada ke-Hanif-an.

Puasa melatih itu semua.

Bagikan