Akan Aku Antar Kau ke Makam

Cerpen
Oleh: Acik Giliraja

Nuriska.ID – Sore hampir habis. Sementara orang-orang bergerak dari dan ke suatu sudut, lelaki sepuh itu sekadar berdiri di samping lincak yang tengadah di halaman, yang seolah-olah memberitahu dirinya bahwa lincak itu siap menerima jenazah istrinya kapan saja.
Lelaki sepuh itu mendesah, dan dia seperti mencium aroma yang melekat di tubuh istrinya sehingga dia mengusap-usap hidungnya lima kali. Lalu kelak, ketika dia menyaksikan istrinya benar-benar direbahkan di lincak itu, lantas bergayung air dilimpahkan ke sekujur tubuh jenazah istrinya, dia akan berkata sangat lirih: “Kukira, suatu saat, akulah yang bakal kau mandikan terlebih dahulu di lincak ini. Kukira, akulah yang bakal mendahuluimu. Tetapi siapa yang bisa menukar maut?”
Dia tentulah tak berharap hari ini akan tiba–lihatlah kesedihan di kedalaman sepasang matanya itu. Dia berpikir bahwa istrinya akan pulang dari rumah sakit dalam keadaan sembuh seperti sebelum-sebelumnya, lalu mereka akan berkumpul lagi, menekuri nasib dengan segala kesunyiannya; duduk berdua di teras di malam hari seraya menaruh cemas pada cucu-cucu yang pergi ke kota-kota sebagai perantauan sementara cicak-cicak tak henti-hentinya berkejaran di dinding dan kadang satu di antaranya terjatuh ke lantai dan naik lagi ke dinding; membicarakan kisah-kisah masa muda berikut sedih dan gembiranya–sebelum penyakit lupa menggondol ingatan, pikirnya–dan lain-lain hal sebelum pergi tidur.
Beberapa jam sebelum kabar buruk yang membuat ciut hidupnya, dan yang serta-merta tampak di hadapannya adalah jurang kesedihan begitu lebar dan dalam seolah hendak menelan bulat-bulat dirinya, dia sempat pergi ke rumah Bu Na, perempuan paruh baya dengan tiga anak laki-laki dan seluruhnya pergi ke kota, dan dia merupakan anak dari kakak perempuan istrinya yang sudah lama meninggal. Lelaki sepuh itu merasa perlu bertanya kabar tentang istrinya pada Bu Na atau pada suami Bu Na di rumahnya.
Di hari-hari lain dia memang suka melakukan “pekerjaan” itu. Dia tahu-tahu muncul di muka pintu halaman lalu duduk di teras rumah Bu Na, kemudian sela obrolan dia menanyakan kabar anak-anak Bu Na yang tinggal di kota-kota jauh sebagaimana cucu-cucunya, misalnya bertanya kapan mereka akan pulang, atau ada kabar apakah dari kota? Tetapi lain itu dia kadang bertanya tentang hal lain semisal apakah Bu Na punya lauk untuk dimakan hari itu atau tidak, sementara di tangannya dia telah membawa rantang kecil berisi ikan yang sudah digoreng istrinya. Singkatnya, dia selalu orang yang suka khawatir, dan seorang tua yang sangat perhatian.
Dia tidak punya hape. Sudah tentu tak ada yang menelepon dirinya. Maka untuk ini dia memerlukan orang lain untuk urusan-urusan yang tidak bisa langsung dia ketahui. Kali itu dia pergi ke rumah Bu Na untuk memastikan kabar istrinya yang dirawat di rumah sakit sejak empat hari lalu.
“Tak ada telepon lagi dari rumah sakit, Na? Bagaimana kondisi bibimu?”
“Belum, Man, belum ada telepon lagi. Tapi sepertinya bibi sudah mendingan. Terakhir kali Rahman (cucunya) telepon, sekitar jelang siang tadi, katanya bibi sudah mau makan bubur meski tiga suapan kecil, Man. Dan dia juga mau minuh teh hangat.”
“Aku benar-benar mengkhawatirkan bibimu, Na.”
“Mudah-mudahan bibi segera sembuh dan lekas dibawa pulang dan berkumpul lagi dengan kita semua.”
Lelaki sepuh itu tidak berkata apa-apa. Sedari tadi dia duduk di kursi menghadap jendela. Dia memandang bayangannya sendiri di kaca jendela itu.
“Kasihan sekali bibi. Dia selalu saja dilarikan ke rumah sakit kota saat sakitnya kambuh.”
“Tak tahulah. Tubuhnya menyusut menyerupai anak-anak yang kurang makan–begitu kurus dan ringkih karena sakit-sakitan.”
“Ngomong-ngomong, sampean sendiri sudah makan?”
“Sejak pagi aku hanya mampu menelan sekerat roti pemberian Alima (adik kandung istrinya). Dia datang ke rumah membawa roti dan nasi sepiring. Tapi aku hanya memakan rotinya.”
“Sebaiknya Paman makan, nanti yang sakit malah tambah. Aku ambilkan nasi di dapur ya, Man?”
“Tidak usah. Sebaiknya aku pulang saja. Siapa tahu tetangga lain datang ke rumah untuk menyampaikan kabar atau yang lain.”
“Nggak coba ditelepon saja, Man?”
“Biarlah. Aku pulang saja.”
Dia pun bangkit dari kursinya. Dia pulang dan jalannya tergesa-gesa, dan wajahnya menyimpan cemas yang teramat. Sepanjang jalan pikirannya tak pernah berpaling dari istrinya.
Kemarin, di hari Jumat, saat adzan asar baru saja selesai dikumandangkan, seorang tetangganya datang ke rumahnya tiba-tiba, dan dengan suara yang lengking lagi gundah si orang itu berkata kalau kondisi istrinya memburuk. Bahkan, menurut si orang itu istrinya akan dibawa pulang dalam keadaan kritis.
Tentulah dia sangat gusar mendengar kabar itu. Wajahnya berubah pucat dan rahangnya mengeras. Tiba-tiba perutnya juga mengeras. Dia merasakan sakit di bagian dalam perutnya. Namun beberapa menit kemudian, setelah dia bicara melalui telepon dengan cucunya, si Rahman, istrinya urung dibawa pulang. Itu sedikit membuatnya terhibur manakala dia dengar dari cucunya kalau istrinya berangsur-angsur membaik. Nafas yang seakan-akan tak tertampung oleh dadanya yang ringkih, dan kemudian tambah tak karuan sehingga perutnya yang kempis dan tulang-tulang rusuknya seperti maju mundur, pelan-pelan mereda. Semua orang yang berada dalam satu ruangan dengannya mula-mula tampak meringis, dan bahkan anak lelakinya beserta cucunya yang sedari awal menemani sudah begitu panik. Tetapi demi melihat perempuan sepuh itu kembali seperti semula, perlahan-lahan mereka kembali bernafas lega. Dan demikianlah, kenyataan itu hanya sebuah tanda bagi siapa saja yang hidup.
***
Rupanya dia tidak langsung pulang meski tadi di rumah Bu Na niatnya akan langsung kembali ke rumahnya. Dia berbelok ke rumah Alima. Sampai di sana dia tidak menemukan siapa pun di beranda. Lalu dipanggil-panggilnya Alima.
Alima keluar dari kamarnya dan segera menyahutinya.
“Ada apa?” katanya.
“Tak ada kabar dari rumah sakit?”
“Aku kira ada apa. Kamu membuatku khawatir saja.”
“Apa ada kabar? Rahman tidak menelepon ke sini?”
“Tidak ada telepon sejak siang.”
“Ya sudah, aku pulang.”
Dia betul-betul menuju rumahnya, pulang dengan langkah-langkah cepat.
Di rumahnya dia tidak nyaman benar saat duduk di kursinya. Dia gelisah. Dia membaca surah-surah pendek yang dia hafal, membaca banyak-banyak shalawat dan istighfar, demi mendamaikan hatinya yang gundah.
Setelah merasa agak jengah dengan kesendiriannya itu, berikut pikiran-pikiran yang berputar-putar di kepalanya begitu kusut, sesaat setelah rokok kelimanya tersulut, Alima dan Bu Na dan lima orang tetangganya nyaris datang bersamaan ke rumahnya. Dan persis begitu, kabar buruk itu… Dan dia hanya mampu berucap Innalillah seraya di matanya yang sedikit berair tergambar wajah istrinya.
Perempuan sepuh itu mau tidak mau mesti dibawa ke rumah sakit kota sebab dokter puskesmas di pulaunya tidak kuasa menangani, dan memang ketersediaan alat-alat medis tidak mencukupi. Puskesmas sepertinya memang hanya diperuntukkan bagi orang-orang sakit yang tidak memerlukan alat medis apa pun selain jarum suntik dan sekantong infus. Perempuan sepuh itu membutuhkan donor darah, dan itu tidak dapat dilakukan di puskesmas pulau. Sehingga, suatu sore di hari Senin dia pun diberangkatkan ke utara dengan perahu nelayan. Satu jam perjalanan dari pulau ke daratan utara. Lalu mungkin setengah jam-an dari pelabuhan ke rumah sakit dengan mobil cary. Hari telah jadi malam ketika dia masuk pintu halaman rumah sakit. Beberapa jam selanjutnya dia mulai ditangani dokter.
Dari Senin sampai kamis dia masih dapat bicara dengan anak lelaki dan cucu lelakinya yang ikut menemaninya di sana. Dan tentu saja dia masih ingat suami dan anak-anaknya dan cucu-cucnya. Bahkan pada dua gadis kecil anak cucu lelakinya dia tidak lupa.
Lalu Pada Jumat sore dia nyaris hilang kesadarannya, dan semua orang di ruangan tempat dia dirawat menjadi gusar, panik, dan mereka berharap yang terbaik baginya. Seorang dokter berupaya sebisanya; hanya Tuhan yang tahu segalanya. Dia kembali pulih, namun di hari sabtu, di suatu sore pukul setengah lima lewat dan seolah keadaan nyaris tidak berubah di ruangan rumah sakit itu, dia menghembuskan nafas penghabisan, membuat anak dan cucunya terhenyak; mula-mula kebingungan, lalu setengah sadar bahwa dia sudah tiada, lalu tanpa sadar mereka terisak. Ruangan itu mendadak ramai oleh tangis dan dipenuhi kabut dukacita.
Tidak seperti empat bulan lalu, atau di bulan-bulan sebelumnya, perempuan sepuh itu kini bakal pulang ke pulau–persisnya dibawa pulang–dari rumah sakit kota sebagai mayat.
***
Orang-orang sudah berdatangan ke rumah duka. Bagaimanapun, kabar duka teramat cepat tersebar. Mereka tengah mempersiapkan apa-apa yang perlu disiapkan. Memasang terop di halaman sebelah barat dan selatan, merapikan kursi-kursi di beranda dan menggantinya dengan tikar gulungan, mengisi drum-drum di sumur samping rumah dan berdempet kamar mandi dan mushalla, buat persiapan mencuci beras dan daging dan telur akhirnya, dan nantinya diisi lagi buat memandikan jenazah, dan ibu-ibu telah menjerang air di dapur. Sebentar-sebentar kopi telah tersaji. Orang-orang menunggu datangnya jenazah.
Seseorang yang lebih muda sekira lima tahun yang merupakan kerabatnya mendekat ke samping lelaki sepuh itu.
“Perahunya belum bergerak, Kak. Kandas.”
“Tak adakah perahu lain?”
“Sepertinya tak ada.”
“Sebentar lagi malam tiba.”
“Perkiraan habis magrib baru perahu itu bisa didorong.”
Lelaki sepuh itu tidak bicara lagi. Tatapannya seolah membeku. Sebentar-sebentar dia duduk di lincak itu. Seakan memberi tanda bahwa dia teramat lelah.
***
Habis maghrib perahu yang kandas itu berusaha didorong ke tengah sebab air laut sudah tidak sekering sebelumnya. Butuh tujuh kali percobaan sepuluh orang barulah perahu itu dapat berpindah dari tempatnya. Tiga dari sepuluh orang itu melompat ke atas perahu sedangkan sisanya terus mendorong sampai mesin dinyalakan dan kemudi diturunkan dan gas gegas ditancap, dan tujuh orang itu kembali lagi ke pantai.
Sementara itu dia tidak ikut pergi ke pantai sehingga dia tidak menyaksikan bagaimana sepuluh orang itu berjibaku dengan sebuah perahu yang kandas. Dia lebih memilih tinggal di rumahnya.
Usai shalat magrib dia pergi ke dapur, bertanya apakah ada nasi atau tidak pada Bu Na yang sedari sore sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya beserta ibu-ibu lain. Termasuk juga Alima.
“Ada nasi, Na? Kok baru kerasa kalau aku lapar ya?”
“Lapar kok baru terasa, Kak? Ada-ada saja,” ucap seorang ibu-ibu sela menggoreng kerupuk ikan.
“Iya ada, Man. Biar aku siapkan,” kata Bu Na.
Bu Na kemudian mengambil piring dan menciduk nasi di rantang dengan sendok, dan dia juga mencomot dari piring besar sebiji telur rebus yang sudah dikupas kulitnya, dan mengguyurkan ke atas nasi itu sedikit kuah, dan sesendok kecil mie goreng berlumur kecap.
“Mereka sudah berangkat,” kata lelaki sepuh itu, seolah berkata pada diri sendiri. “Ya ya, mereka sudah berangkat ke utara..” Dia duduk di lincak dapur menunggu sepiring nasi dari Bu Na. Pandangannya membentur dinding dapur bagian utara yang hitam oleh asap pembakaran dari waktu ke waktu.
“Iya, Man. Mereka sudah berangkat,” ucap Bu Na, seraya meletakkan sepiring nasi di hadapan pamannya itu. “Silakan, Man.”
“Ya, aku akan makan sekarang, aku akan makan.”
“Aku ambilkan segelas air.”
“Memang sudah waktunya bibimu istirahat, iya kan?” jari-jari tangannya mengaduk-aduk pelan nasi dalam piring itu, dia belum memasukkan apa-apa ke dalam mulutnya, bahkan sebutir nasi pun tidak. Dan dia tidak lagi memandang dinding hitam itu. Dia menundukkan kepala, memandang seolah-olah pada piringnya, dan dia serta merta ingat istrinya yang biasa menyediakan masakan untuknya. Persis di ranjang dapur itu, dia dan istrinya senantiasa duduk berdua menghadapi piring masing-masing, atau dia saja yang makan sedangkan istrinys duduk menghadsp tungku menggoreng ikan-ikan.
Bu Na menoleh pada lelaki sepuh yang tengah tunduk itu, lalu dia berkata, “Tuhan telah mengambilnya dari kita semua, Man..”
“Oh, sepertinya aku melupakan sesuatu. Aku baru ingat sekarang. Simpan dulu nasi ini, Na. Nanti kuambil lagi.”
Dia bangkit tanpa menunggu jawaban Bu Na atau siapa pun. Bu Na dan orang-orang hanya mampu melihat dirinya yang beranjak pergi dari dapur. Di antara mereka tak ada yang tahu dia hendak pergi ke mana, dan apa yang dia ingat. Orang-orang hanya tahu kalau lelaki sepuh itu berusaha dengan keras untuk tidak bersedih.
“Taruh saja dulu di atas meja, Na. Lalu tutup dengan rantang supaya tidak diinjak-injak cicak.” ucap Alima.
“Iya, Bibi,” jawab Bu Na.
Lelaki sepuh itu kemudian pergi ke kamarnya dan menutup pintu. Beberapa saat dia mengurung diri di sana. Kamar itu agak gelap, dan di atas ranjangnya dia hanya mampu tercenung untuk kesunyian yang segera melingkupi dirinya.
***
“Kau benar-benar pulang sekarang,” batin lelaki sepuh itu di hadapan jenazah istrinya yang baru tiba pukul setengah sepuluh malam dan segera dibaringkan di ruang tengah. Dia berdiri di balik punggung orang-orang, dan sekadar melongokkan kepala sela bahu-bahu para pelayat, dan dia tidak cukup berani untuk mendekat apalagi menyentuh tubuh tak bernyawa istrinya. Setidak-tidaknya untuk saat itu.
Sementara orang-orang yang sejak sore menanti-nanti, berkerumun di sekeliling jenazah yang terbungkus kain sekujur tubuh. Beberapa orang mencoba menyingkap kain yang menutupi wajah si mayat, berharap mereka dapat menyimpan ingatan terakhir tentang wajah yang bakal tidak dijumpainya lagi di hari-hari berikutnya.
Tentulah tidak akan ada seorang perempuan sepuh yang mondar-mandir antara ruang tengah dan teras, dan duduk-duduk di lincak di halaman rumahnya sebelum petang, saat kelelawar-kelelawar terbang ke utara. Tak mungkin ada lagi perempuan sepuh yang tiba-tiba muncul di muka pintu halaman siapa saja hendak bertamu atau sekadar basa-basi sebentar sebelum pulang kembali. Yang pasti, tidak akan pernah lagi tampak punggung seorang perempuan sepuh yang telaten menyangrai biji-biji kopi di hadapan tungku, pun yang membawa segelas kopi penuh yang panas yang mengebulkan asap tipis menguarkan aroma pekat kopi dan yang selalu bilang “ini kopinya” pada cucu-cucunya. Tak akan pernah lagi hal-hal itu terjadi. Memang pada akhirnya, sesuatu apa pun akan tinggal sebagai kenangan, kekal di ingatan. Maka sekian orang itu tak kuasa menahan kesedihan, dan tahu-tahu berpasang-pasang mata itu menjadi hangat.
Dan lelaki sepuh itu mencoba sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya. Dia tentu saja sangat kehilangan seseorang yang sudah temani dirinya dalam siang dan malam–sepanjang hayat.
Pelan-pelan dia menjauh dari kerumunan di ruang tengah itu. Bukan lari dan sembunyi di suatu tempat yang sepi lalu menangis tersedu-sedu, melainkan duduk di teras, di antara banyak orang–para lelaki–yang dia seolah tidak pernah merasakan kesedihan apa pun. Dia menyapa mereka meski tidak satu persatu, kemudian duduk bersila menghadap barat bersandar pada dinding berlapis keramik kuning emas, lalu dia mengeluarkan sebatang rokok dan korek dari saku kiri jas kulitnya. Segera dia sulut rokok itu. Asap-asap itu meliuk-liuk menyerupai asap-asap dari sekian batang dupa yang dinyalakan.
“Besok akan aku antar kau ke makam. Di bawah pohon-pohon bambu, di samping kuburan ibumu, ya, seperti inginmu dahulu… Sungguh kau akan nyaman di sana. Sekarang kau tidurlah dulu di rumah ini, tidurlah bagai bayi yang lelap di pangkuan. Aku akan berjaga di sini seraya memohon belas kasih Tuhan bagimu.”
Jauh di kedalaman hatinya dia seperti seorang pesakitan yang merengek-rengek.

Jakarta, 2022.

Acik Giliraja. “Pengusaha Jakarta-an” yang menaruh minat pada cerita-cerita pendek dan puisi.

Bagikan