Perempuan Sebilah Pisau_”Nofita Sari”

Karya Ilmiah

Perempuan Sebilah Pisau

Nofita Sari

Perempuan itu duduk manis di taman belakang rumahnya, memandangi beberapa bunga penghias taman yang ditanamnya sendiri. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang diterpa angin yang bertiuap dari balik dedaunan di sekitar taman. Kemudian ia mendesah ketika mendapati seekor kupu-kupu cantik menghinggapi pundaknya.

Tak lama dari itu, kupu-kupu yang menghinggapinya telah tergeletak lemah di tanah. Ada sesuatu yang membuatnya terlempar ke tanah. Sayap kupu-kupu itu masih mengepak-ngepak, seperti mengharap sebuah pertolongan dari perempuan itu. Ia pun memungutnya. Tangannya yang lentik mengambil tubuh kupu-kupu yang sudah tak dapat lagi terbang. Ia memandang tubuh kupu-kupu itu, mengayunkannya perlahan di depan wajahnya, lalu meremukkan kupu-kupu itu dengan dua jari hanya dalam hitungan detik. Sesuatu yang cair keluar dari tubuh kupu-kupu itu, mengenai lengan kanannya yang kuning langsat.

Ia meninggalkan taman, masuk ke dalam rumahnya, lalu keluar lagi melewati pintu bagian depan. Tak ada yang dibawanya selain sebilah pisau dalam genggaman erat tangan kananya. Satu kepalan di tangan kiri mengiringi langkahnya. Penampilannya tetap terlihat rapi dan tenang meski hatinya dalam keadaan gusar. Langkah demi langkah, ia memburu arah, tak begitu hirau pada kicau burung yang berteriak di atas kepalanya, tak hirau pula pada lalu-lalang orang.

Di tengah perjalanan yang entah akan ke mana menuju, ia memberhentikan kaki mungilnya. Ia mengambil tempat duduk. Ingatannya kembali pada satu minggu yang lalu. Saat lelaki yang ia temui di sebuah warung makan, dengan enteng menyatakan akan membatalkan pernikahan yang akan dilaksanakan satu bulan mendatang kepada dirinya.

“Kau terlalu cantik untuk dinikahi pria sepertiku,” kata lelaki itu, sebelum kemudian lelaki itu berbalik badan, meninggalkan perempuan itu begitu saja. Dan perempuan itu hanya bisa menatap kosong.

Perempuan itu tak beranjak dari tempatnya, memandangi punggung lelaki yang telah berbalik badan, yang diimpikan akan menjadi pendamping hidupnya. Seketika dirasanya hening, tak sepatah kata pun keluar dari bibir perempuan itu. Hanya tetes demi tetes air dari sudut mata yang menemani kesunyian dan kemalangan hidupnya.

Mengingat hal itu, hanya membuat hatinya geram, dan memungut sebilah pisau.

Pandangannya kini tertuju pada sebuah kursi panjang di depannya. Sepasang kekasih yang duduk di kursi panjang ini mungkin saja tak menyadari bahwa ada seorang perempuan sedang menaruh pandang lalu berjalan mendekat, semakin dekat, dan sungguh semakin mendekat.

Tak ada suara, perempuan itu semakin mendekati kursi panjang tersebut dari sisi belakang, lalu pelan-pelan menjulurkan kedua tangannya ke arah punggung lelaki yang duduk dengan perempuan yang mungkin kekasihnya. Tangan kanannya bergerak ke atas, ke bagian leher, jari-jarinya mengatup, memegang erat benda yang dibawanya sejak tadi, dan mengayunkan benda itu ke depan, lalu mengerat leher lelaki itu.

Seketika ia mendengar jelas teriakan panjang, “aaaaaaa…….” dari mulut lelaki itu. Dan teriakan itu kemudian sama sekali lenyap, urat leher lelaki itu mungkin telah terputus.

       Perempuan yang mungkin kekasih lelaki itu, yang duduk di samping lelaki yang sudah putus urat lehernya, menatap geram setelah sebelumnya ikut berteriak penuh ketakutan—seakan ia ingin mendaratkan kepalan tangannya tepat di wajah perempuan yang memegang sebilah pisau.

Perempuan yang memegang sebilah pisau itu berbalik badan lalu dengan lantangnya berkata, “Kalau aku tidak dapat memilikinya, tidak boleh ada orang lain yang memilikinya.”

Perempuan yang baru saja kehilangan kekasihnya itu sungguh tidak mengenal siapa perempuan yang berkata demikian itu, perempuan yang telah mengerat leher kekasihnya. Pun laki-laki yang telah meninggal di atas kursi panjang itu. Keduanya sungguh tidak mengenal siapa perempuan yang membawa sebilah pisau itu.

Perempuan pembunuh itu pulang dengan rasa puas bercampur cemas. Tak ada yang melihatnya kecuali perempuan yang sekarang tersedu-sedu di samping lelaki yang putus urat-urat lehernya. Kemudian dengan tiba-tiba ia memutuskan untuk berbalik arah, lalu dengan langkah cepat dan lebar ia mendekati tempat tadi, menghampiri perempuan yang terisak-isak.

Kini tangan perempuan itu mengayun cepat, lalu dengan geramnya meraih leher perempuan yang tengah terisak-isak. Tak ada suara, hanya tatapan geram dari perempuan yang terisak-isak, yang sekarang lidahnya menjulur ke luar.

Kini, perempuan itu telah dapat melangkah pulang dengan tenang, tanpa ada sisa bukti yang akan mungkin terbayang. Dan sebelum kemudian dirinya sampai di rumah, ia bertemu kembali dengan sepasang kekasih yang tengah duduk di sebuah kursi panjang, dan ia kembali menghampiri pasangan itu dengan cara diam-diam…

 

Karangcempaka, 25 Desember 2018 nuriska.id

Bagikan