Cerpen “Sumiatiii” Latifatul Fajriyah

Karya Ilmiah

Sumiatiii

Latifatul Fajriyah

Wanita itu melangkahkan kakinya ke warung tegal seberang jalan. Bajunya yang sudah kusam dan penuh dengan tambalan di sana-sini terlihat sedikit kebesaran di tubuhnya yang kurus. Rambutnya yang hitam berpadu putih terlihat sangat kusut. Entah sudah berapa lama rambut itu tak menyentuh mulut sisir. Kakinya yang terlihat sangat kotor tak memakai alas apa pun.

Semua penghuni warteg langsung pergi menjauh saat wanita itu sudah tinggal enam langkah lagi untuk masuk ke dalam warteg. Mereka secara serempak menjepit hidung dengan jari telunjuk dan jari jempol secara erat. Ya, sangat erat. Berharap dengan itu mereka tidak akan mendengar bau menyengat dari tubuh wanita tua itu.

Namun ternyata usaha mereka gagal. Sekuat apa pun mereka menyumbat hidung, bau itu tetap menyelinap masuk lewat lubang-lubang kecil yang tak terlihat.

    Jelas saja mereka muntah. Mengeluarkan isi perut yang baru sepersekian detik meluncur bebas ke dalam lambungnya. Mereka pergi dengan wajah kesal dan sumpah serapah yang terlontar begitu saja dari mulut mereka, meninggalkan makanan yang belum mereka habiskan.

“Kau ini, Sum, selalu saja membuat para pembeliku pergi tanpa meninggalkan uang sepeser pun untuk makanan yang mereka makan. Kalau begini terus sudah jelas aku akan dapat rugi besar dan menjadi makin miskin. Pergi sajalah sana. Cari tempat lain untuk membeli makanan. Jangan lagi kau datang ke warungku!”

Mendengar kata itu, wanita yang ternyata bernama Sum ini sama sekali tak beranjak. Dia malah memberikan senyum yang menurutnya sangat manis. Melihat senyum Sum, mereka yang lewat di dekat warteg jadi bergidik jijik.

“Pergilah Sum! Aku sudah tidak tahan dengan baumu itu! Kau hanya membuat lalat-lalat mengerubungi warungku!”

Melihat dia masih tak hendak beranjak, maka dengan kasar pemilik warung tegal itu mendorong tubuh Sum hingga jatuh ke kolong meja makan.

“Bau tubuhku tak seberapa, Juu. Kau terlalu polos untuk mengerti apa artinya kehadiran lalat-lalat  itu.” Setelah berkata itu, Sum pergi dengan cengar-cengir yang tidak jelas. Juu, wanita pemilik warung tegal itu hanya dapat mengeluarkan sumpah serapah yang tiada putus-putusnya.

    Dia kembali masuk ke dalam warungnya lalu menyemprotkan pengharum bergambarkan lavender. Bibirnya tersenyum karena bau itu sudah hilang dari warungnya.

Para pembeli kembali berdatangan. Mereka memesan makanan sesuai dengan selera mereka masing-masing. Ini yang Juu suka. Pembeli selalu datang berdesak-desakan dan memesan sebanyak yang mereka mau. Dengan tenang dia menyiapkan makanan. Sedangkan dua pelayannya mengantarkan pada pemesan yang sudah lebih awal menunggu.

Saat makanan ada di hadapan mereka dan sendok sudah siap terjun menyendok makanan yang masih mengepulkan asap panas, lalat-lalat nakal menyerbu makanan yang terlihat nikmat itu. Dengan tiba-tiba bau busuk segera menyerbu indra penciuman mereka. Bau busuk yang melebihi baunya Sum.

Belatung-belatung gemuk tiba-tiba sudah mengerubungi makanan mereka. Asap yang tadi  mengepul berwarna putih dan terdengar sedap kini berubah menjadi hitam dan terdengar busuk. Mereka semua berteriak histeris dan muntah di tempat. Lalu pergi tunggang-langgang melihat belatung dan lalat yang menyatu menjijikkan.

Para pelayan pun ikut berlari, meninggalkan Juu yang terlihat tegang dan terkejut. “Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin!” ucapnya dengan pelan dan bergetar. Matanya menyala. Raut wajahnya mengeras. Tangannya mengepal.

“Sumiatiii…” Juu berteriak, dan berteriak lagi, “Sumiatiii…”

Sedangkan di ujung kota sana, Sumiatiii sibuk tertawa tak jelas dengan ilalang yang dia keluar-masukkan ke hidungnya.

 

Karangcempaka, 22 Januari 2019 nuriska.ia

Bagikan