Mencari Secercah Barokah

Karya Ilmiah
_Oleh: A. Rofik*_

Nuriska.ID – Tepat Rabu malam (22/7/2020) di pondok tercintaku ‘Nurul Islam Karangcempaka’ di selenggarakan haflatul imtihan atau biasa kami sebut ‘Wisuda Purna Siswa’.

Kebetulan, saya dipercaya untuk mengurus ‘Konsumsi’ dan segala tetek bengiknya. Mengurusi kue, air mineral, kopi hingga nasi. Di sinilah saya menjadi pramusaji yang _menenteng_ kue dan makanan. Sungguh asyik.

Ingat dawuh guru KH. Ilyas Siraj, ketua yayasan pondok pesantren Nurul Islam. “Di pesantren, di tugaskan di mana saja, pada tempat apapun harus diterima serta dijalankan dengan ikhlas”.

Gamblangnya, di pesantren diminta menjadi staf tata usaha (TU) harus bersedia, menjadi/mengurus konsumsi sebuah acara di pondok pesantren wajib bersedia, menjadi kuli sampah harus mau. Kenapa? Pondok pesantren adalah tempat tirakat anak-anak kecil, remaja hingga dewasa yang belajar ilmunya Allah. Sungguh mulia.

Bahkan Guru sekalipun tetap mencari barokah dari anak yang mencari (tirakat) ilmu. Kalimat inspiratif pernah di sampaikan dalam orasinya di pesantren Nurul Huda Giliraja. “Saya biasa membersihkan toilet santri, dilakukannya karena ingin memperoleh barokah”. Teladan yang wajib saya tiru, pun juga oleh para santrinya.

Beliau ingin mendobrak dan keluar dari stigma pesantren kumuh dan kampungan. Faktanya, pesantren Nurul Islam sekarang bersih, indah dan asri. Santrinya nyaman dalam belajar.

Kembali kepada tugas sebagai ‘Konsumsi’, ketika wisuda digelar. Dengan enteng saya mengerjakan segala tugas konsumsi. Menjamu satiap tamu undangan yang hadir bahkan kepada santri yang sedang diwisuda tidak luput dari sajianku.

Memang, pakain saya saat wisuda necis, jas full berdasi termasuk semua panitia.

Beberapa senior, teman sekelas bahkan adik kelas dengan nada guyon saat berpapasan mengatakan. “Ui, pakaian rapi kok bawa kardus”. “Dengan jas full dress berdasi bisa-bisanya _nenteng_ nasi” dan banyak lagi ocehan lainnya. Saya pun diam tapi tetap melaksanakan tugas.

Belum seberapa, apa yang saya laksanakan sesaat saja itu dibandingkan dengan yang dicontohkan oleh para guru saya.

Untuk memantapkan tugas-tugas saya di pesantren yang oleh sebagian dianggap keri dan kurang strategis adalah dawuh yang mulia guruku KH. Moh. Ramdlan Siraj. “Agama tidak butuh kita, tapi kitalah butuh agama. Bukan Nahdlatul Ulama (NU) yang butuh kita, tapi kita yang butuh NU. Tidaklah pesantren yang butuh kita, tapi kita yang butuh pesantren”.

Momentum wisuda bentuk syukur dari ilmu yang didapat para santri. “Semua yang hadir di acara wisuda saya yakin (insyaallah) akan mendapat nilai secara kualitas dari apa yang kita hormati yaitu ilmu pengetahuan”.

Mantap, saya melaksanakan tugas-tugas pesantren dari dawuh dan praktek langsung dari kedua guruku.

Dalam acara haul sekaligus temu alumni Kiai Ramdhan sempat berkisah tentang KH. As’ad Syamsul Arifin, potret santri yang setia kepada kiainya yaitu KH. Khalil Bangkalan, dikisahkan beliau rela bolak-balik jalan kaki mengantarkan amanah Kiai Kholil Bangkalan kepada KH. Moh. Hasyim Asy’ari dengan simbol tongkat dan tasbih. Dalam menjalankan tugas tersebut tak sedikitpun kiai As’ad muda mengeluh dan tetap Istiqomah menjalankan amanah Kiai Khalil Bangkalan.

Ini adalah bagian contoh kesetiaan menjalankan tugas dan barokah guru. Alhasil semua akan indah pada waktunya.
Seperti pepatah yang sudah tidak asing lagi, siapa yang menanam kebaikan makan akan menuai kebaikan pula.

Semoga saya bisa meneladani KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Moh. Ramdlan Siraj dan KH. Ilyas Siraj.

_Santri Pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka, Sumenep dan Crew nuriska.id_

Bagikan